BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Politik
Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Abdurahman al-Maliki dalam bukunya, As-Siyasah al-Iqtishadiyah
al-Mutsla (Politik Ekonomi Ideal) adalah
jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan
papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai
dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakt tertentu
yang memiliki gaya hidup yang khas. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam
dalam masalah anggaran negara sebenarnya merupakan kebijakan negara, baik
menyangkut sumber-sumber pendapatan negara maupun alokasi penggunaan dana dalam
rangka mewujudkan terpenuhinya kebutuhan pokok individu orang-perorang dan
kepentingan individu yang bersifat sekunder maupun tersiernya.
Syaikh Abdul
Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fa Dawlah al-Khilafah (Sistem Keuangan
Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber
pemasukan negara. Adapun politik pembiayaan negara telah dibahas secara detail
oleh Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya tersebut di atas.
Dalam buku
tersebut dijelaskan sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah yang dikumpulkan
oleh lembaga yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang
mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan
maupun pengeluaran negara.
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana
definisi pembiayaan dalam negeri?
- Bagaimana
sistem Islam
dalam mengatur pengelolaan pendapatan dan belanja negara?
- Darimana sumber harta Baitul
Mal?
- Bagaimana
pembiayaan Baitul Mal?
C.
Tujuan Makalah
Makalah ini
disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
- Definisi pembiayaan dalam negeri.
- Memahami sistem Islam
dalam mengatur pengelolaan pendapatan dan belanja negara.
- Mengetahui sumber harta Baitul Mal.
- Mengetahui pembiayaan baitul Mal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Pembiayaan Dalam Negeri
Pembiayaan dalam negeri, adalah semua pembiayaan yang
berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil
privatisasi, penjualan aset perbankan dalam rangka program restrukturisasi,
surat utang negara, dan dukungan infrastruktur. Semua pembiayaan dalam negeri ini di atur dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Semua pengaturan kehidupan yang dibuat oleh manusia
sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Sementara mereka yang tidak bisa ambil
bagian dalam membuatnya juga berupaya mencari celah agar kepentingannya bisa
terakomodasi dengan peraturan yang ada. Terjadilah tarik menarik kepentingan
dan rakyat hanya menjadi obyek pelengkap penderita yang tak berdaya menghadapi
berbagai beban yang ditimpakan kepada mereka.
B.
Sistem Islam Dalam Mengatur Pengelolaan
Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)
Kalau kita menilik ke dalam catatan sejarah Islam, tidak
dikenal istilah kata APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam,
akan tetapi dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga
yang tak terpisahkan dalam Struktur Khilafah untuk mengatur penerimaan dan
pegeluaran negara yang dikenal dengan Baitul mal.
Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan
merujuk kepada ketentuan-ketentuan syariah, baik dalam hal sumber-sumber
pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya. Berbeda dengan APBN dalam sistem
sekuler, Baitul Mal di dalam sistem Khilafah justru lebih dahulu mengandalkan
pengelolaan sumber daya alam yang tidak membebani masyarakat yang ternyata
menghasilkan potensi pendapatan negara yang sangat besar dan mencukupi
pembiayaan negara, sehingga menghutang ke luar negeri tampaknya tidak akan
dilakukan oleh Khilafah karena banyaknya bahaya yang akan didapat dari hutang
luar negeri.
C.
Sumber harta Baitul Mal
Islam tidak hanya mengatur
sebab-sebab perolehan harta bagi individu, akan tetapi Islam juga mengatur
sumber pemasukan dana/harta bagi Baitul Mal. Dalam hal sumber dana Baitul Mal
ada dua hal yang harus dibedakan yaitu antara sumber-sumber pendapatan negara
dengan sumber-sumber keuangan negara.
Secara garis besar, pendapatan
negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi 5 sumber:
1. Dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.
Benda-benda yang termasuk dalam
kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
a) Fasilitas umum. Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap
sebagai kepentingan manusia secara umum; jika tidak ada dalam suatu negeri atau
suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan
persengketa-an. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.
b) Barang tambang dalam
jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk milik
umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi,
tembaga, dll.
c) Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki
hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum,
teluk, selat, dan sebagainya.
2.
Dari Harta Milik Negara dan
BUMN.
Jenis
pendapatan kedua adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta milik
negara adalah harta yang bukan milik individu tetapi juga bukan milik umum.
Contoh: gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva
tetap lainnya. Adapun BUMN bisa merupakan harta milik umum kalau produk/bahan
bakunya merupakan milik umum seperti hasil tambang, hasil hutan, emas, dan
lain-lain; bisa juga badan usaha yang produknya bukan merupakan milik umum
seperti Telkom dan Indosat.
3.
Dari Ghanamah, Kharaj, Fai,
Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang.
Kelima jenis
pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak
dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. Ketika Daulah
Khilafah Islamiyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal
dari pos ini.
4. Pendapatan dari Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah.
Kelompok yang
keempat ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya
non-ekonomi. Potensi zakat di Indonesia saat ini dengan asumsi yang minimalis
diperkirakan sekitar Rp 103.5 triliun.
Dalam
pos fa’i & kharaj memang meliputi juga pajak. Namun pajak dalam sistem
Islam berbeda dengan sistem sekuler. Pajak (dharibah) dalam Islam adalah harta
yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan
dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi Baitul
Mal tidak ada uang. Pada dasarnya terdapat pemasukan rutin bagi Baitul Mal.
Namun dalam kondisi dimana harta di Baitul Mal tidak mencukupi berbagai
pembiayaan yang harus ditanggung oleh negara dan bila tidak dibiayai dapat
menimbulkan kemudharatan seperti pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer,
pembiayaan para fuqara, orang - orang miskin dan ibnu sabil, pembiayaan gaji,
para pegawai yang bekerja untuk kemaslahatan kaum Muslim, pembiayaan untuk kemashlahatan
umat, serta untuk keadaan darurat seperti bencana, maka kewajiban pembiayaan
itu akan beralih kepada kaum Muslim. Karena Allah mewajibkan negara dan umat
untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim. Rasulullah bersabda
” Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling membahayakan).”
Pajak hanya diwajibkan berdasarkan pada besarnya
kebutuhan dan kemampuan memenuhi pembelanjaan negara. Dalam keadaan normal,
pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Pajak tidak boleh dipaksakan
pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya
atau berusaha menambah pemasukan Baitul Mal.
Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya
kebutuhan yang mendesak. Demikian pula negara tidak boleh mewajibkan pajak
dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam
urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas
transaksi jual beli tanah, pengurusan surat – suratnya, gedung – gedung, atau
timbangan atas barang dagangan. Dengan mewajibkan berarti telah berlaku zhalim
dan ini dilarang. Bahkan termasuk dalam tindakan memungut cukai (al-Maksu),
seperti sabda Rasulullah saw:
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسِ
Tidak
akan masuk surga orang – orang yang memungut cukai.(HR. Hakim)
5.
Dari Pendapatan Insidentil
(Temporal)
Yang masuk
dalam kelompok ini adalah pajak, harta ilegal para penguasa dan pejabat, serta
harta denda atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap aturan
negara.
D. Pembiayaan Baitul Mal
APBN dalam sistem sekular, pemasukan dari berbagai sumber
dilebur menjadi satu tanpa melihat dari mana asalnya apakah dari kepemilikan
umum atau negara, dan memang demikian adanya aturannya setelah semua pemasukan
dilebur menjadi satu, baru digunakan untuk berbagai pembiayaan negara.
Sedangkan dalam konsep Baitul Mal, pendapatan Baitul Mal
diperoleh sesuai dengan hukum-hukum syara’, maka peruntukkan/pengeluarannya pun
harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ yang bersifat
qathi’/pasti :
1.
Bagian fa’i dan kharaj untuk membiayai : seksi dar
al-khilafah, seksi mashalih daulah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan
darurat, dan seksi anggaran belanja negara-pengendalian umum-badan pengawas
keuangan (BPK).
2.
Bagian pemilikan umum untuk membiayai : seksi jihad, Biro
mashalih daulah/pelayanan publik, seksi penyimpanan harta milik umum dan untuk
seksi urusan darurat/bencana alam.
3.
Bagian shodaqoh/zakat untuk : seksi jihad fi sabilillahi,
seksi penyimpanan harta zakat, 8 golongan ashnaf (Q.S. At-Taubah: 60).
BAB III
KESIMPULAN
Negara Islam
memiliki mekanisme tersendiri dalam membiayai kegiatannya, termasuk kegiatan
pembangunan. Cara-cara tersebut sangat berbeda dengan cara-cara negara
kapitalis. Dalam negara kapitalis, sumber utama pemasukan negara dibebankan
kepada rakyat dengan jalan menarik pajak. Jika ini tidak memadai, negara dapat
mencari dana dari luar melalui utang luar negeri. Sebaliknya, Negara Islam
justru terlebih dulu mengandalkan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak
membebani masyarakat.
Pajak ditarik
bersifat temporer dan semata-mata untuk menutupi kekurangan saja dan dibebankan
atas kaum Muslim saja. Mengutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan
oleh Negara Islam karena banyaknya bahaya yang akan didapat dari utang luar
negeri.
Disamping
dengan pengaturan sumber pemasukan dana/harta dan pembelanjaan harta bagi
Baitul Mal dimana pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, Islam juga
telah memiliki aturan yang bisa mencegah terjadinya korupsi seperti dengan
sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, teladan dari
pemimpin, dan pengawasan masyarakat.
Apa yang terjadi di dunia
perpajakan negeri ini seharusnya membuka mata kita bahwa sistem sekuler yang
bobrok ini harus segera ditinggalkan dan menggantinya dengan sistem Islam
melalui tegaknya institusi Khilafah yang telah terbukti selama berabad – abad
berhasil memelihara kehidupan manusia.
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah Amat
keras siksaan-Nya.” (TQS. Al-Anfal : 24-25)
Allahu a’lam bishshawab.
0 comments:
Post a Comment