A. Sekilas Pengertian
Uang
Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang
berasal dari kata al-naqdu, pengertiannya ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti
yang baik dari dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan
al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak terdapat dalam al-Quran dan
hadis, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan
harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat
dari emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak.
Mereka juga menggunakan wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘ain untuk
menunjukkan dinar emas.
Sedangkan kata fulus (uang
tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang
murah. Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang dicetak,
tapi mencakup seluruh jenisnya dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukkan
dirham dan dinar mereka mengunakan istilah naqdain. Namun mereka berbeda
pendapat apakah fulus termasuk dalam istilah naqdain atau tidak. Menurut
pendapat yang mu’tamad dari golongan Syafi’iyah, fulus tidak termasuk naqd,
sedangkan Mazhab. Hanafi berpendapat bahwa naqd mencakup fulus.
Defenisi nuqd menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), seperti yang
dikutip Ahmad Hasan dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu. Ini berarti
dinar dan dirham adalah standar ukuran nilai yang dibayarkan dalam transaksi
barang dan jasa. Senada dengan pendapat ini, Al-Ghazali (wafat 595 H)
menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara
seluruh harta, sehinga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim
(wafat 751 H) berpendapat dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas.
Ini mengisyaratkan bahwa uang adalah standar unit ukuran untuk nilai harga
komoditas.
Dalam pengertian kontemporer, uang adalah benda-benda yang
disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar
atau perdagangan dan sebagai standar nilai. Taqyudin al-Nabhani menyatakan,
nuqud adalah standar nilai yang dipergunakan untuk menilai barang dan jasa.
Oleh karena itu uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk
mengukur barang dan jasa. Jadi uang adalah sarana dalam transaksi yang
dilakukan dalam masyarakat baik untuk barang produksi mapun jasa, baik itu uang
yang berasal dari emas, perak, tambaga, kulit, kayu, batu, besi, selama itu
diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang. Untuk dapat diterima sebagai
alat tukar, uang harus memenuhi persyaratan tertentu yakni: Nilainya tidak
mengalami perubahan dari waktu ke waktu. 2) Tahan lama. 3) Bendanya mempunyai
mutu yang sama. 4) Mudah dibawa-bawa. 5) Mudah disimpan tanpa mengurangi
nilainya. 5) Jumlahnya terbatas (tidak berlebih-lebihan) 6) Dicetak dan disahkan
penggunaannya oleh pemegang otoritas moneter (pemerintah). Penerbitan uang
merupakan masalah yang dilindungi oleh kaidah-kaidah umum syari’at Islam.
Penerbitan dan penentuan jumlahnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
kemaslahatan umat, karena itu bermain-main dalam penerbitan uang akan
mendatangkan kerusakan ekonomi rakyat dan negara.
Misalnya hilangnya kepercayaan terhadap mata uang akibat
turunnya nilai uang yang bisa saja disebabkan oleh pembengkakan jumlah uang
beredar, dan sebagainya. Kondisi ini biasanya diringi dengan munculnya inflasi
di tengah masyarakat yang justru mendatangkan kemudaratan pada rakyat. Karena
ekonom muslim berpendapat bahwa penerbitan uang merupakan otoritas negara dan
tidak dibolehkan bagi individu untuk melakukan hal tersebut karena dampaknya
sangat buruk.
Dalam hal ini Imam Ahmad mengatakan tidak boleh mencetak uang
melainkan dipercetakan negara dan dengan seizin pemerintah, karena jika
masyarakat luas dibolehkan mencetak uang akan terjadi bahaya besar. Untuk menjaga
stablitas nilai tukar uang, Ibn Taimiyah (1263-1328 M) menegaskan, pemerintah
sebagai pemegang otoritas dalam masalah ini harus mencetak uang sesuai dengan
nilai transaksi dari penduduk. Jumlah uang yang beredar harus sesuai dengan
nilai transaksi. Ini berarti Ibn Taimiyah melihat hubungan yang erat antara
jumlah uang beredar dengan total nilai transaksi dan tingkat harga
B. Konsep Uang
dalam Islam
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan
konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat
jelas dan tegas bahwa uang adalah uang bukan capital. Sedang uang dalam
perspektif ekonomi konvensionl diartikan secara interchangeability/bolak-balik,
yaitu uang sebagai uang dan sebagai capital.
Perbedaan lain adalah bahwa dalam konsep
ekonomi Islam, uang adalah suatu yang bersifat flow conceptdan capital adalah
suatu yang bersifat stock concept. Sedang dalam konsep ekonomi
konvensional, Frederic S. Miskhin, misalnya mengungkapkan konsep Irving Fisher
yang mengatakan bahwa :
Keterangan :
MV = Jumlah uang
V =Tingkat perputaran uang
P = Tingkat harga barang
T = Jumlah barang yang diperdagangkan
Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa
semakin cepat perputaran uang (V↑), maka semakin besarincome yang
di peroleh. Persamaan ini juga berarti bahwa uang adalah flow concept.
Fisher juga mengatakan bahwa sama sekali tidak ada korelasi antara kebutuhan
memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga.
Konsep ini hampir sama dengan konsep yang ada dalam konsep ekonomi Islam.
Pendapat lain yang diungkapkan oleh Mishkin adalah konsep dari
Marshall-Pigou dari Cambridge, yaitu :
Keterangan :
M = Jumlah uang
k = 1/v
P = Tingkat harga barang
T = Jumlah barang yang diperdagangkan
Walaupun secara matematis k dapat
dipindahkan ke kiri atau ke kanan, secara filosofis kedua konsep ini berbeda.
Dengan adanya k pada persamaan diatas, menyatakan bahwa demand
for holding money adalah suatu proporsi (k) dari jumlah
pendapatan (PT). semakin besar k, semakin besar demand for
holding money(M), untuk tingkat pendapatan tertentu (PT). Berarti konsep
ini mengatakan bahwa uang adalah stock concept. Oleh sebab itu,
kelompok Cambridge mengatakan bahwa uang adalah salah satu cara untuk menyimpan
kekayaan (store of wealth).
Dalam Islam, capital is private goods,
sedangkan money is public goods. Uang yang ketika mengalir adalahpublic
goods (flow concept), lalu mengendap kedalam kepemilikan
seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (private
goods).
Konsep public goods belum
dikenal dalam teori ekonomi sampai tahun 1980-an. Baru setelah muncul ekonomi
lingkaran, maka kita berbicara tentang externalities, public
goods, dan sebagainya. Dalam islam konsep ini sudah di kenal, yaitu ketika
Rosulillah bersabda “Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal: air,
rumput, dan api” (HR Ahmad, abu Dawud dan Ibn Majah). Dengan demikian,
berserikat dalam hal public goods bukanlah hal yang baru dalam
ekonomi islam, bahkan konsep ini sudah terimplementasi, baik dalam bentuk
musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain-lainnya.
0 comments:
Post a Comment