BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Keuangan Negara
Keuangan negara adalah
hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran negara serta
pengatuhnya terhadap perekonomian. Seluruh sumber penerimaan dan pengeluaran
diperhitungkan oleh pemerintah secara cermat dan teliti serta bertanggung
jawab, yang semuanya disusun dalam APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja
Negara). APBN adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci mengenai
kondisi keuangan negara yang mencakup penerimaan dan pengeluaran negara.
B. Sumber-Sumber Keuangan Negara Dalam
Pandangan Islam
Sumber-sumber
keuangan negara meliputi 6 hal, yaitu:
1. Pajak
Pajak merupakan salah satu pos penerimaan negara yang utama.
Pajak merupakan hak pungutan resmi pemerintah berdasarkan undang-undang. Pajak
itu dikenakan kepada wajib pajak, yaitu individu, kelompok, maupun suatu badan
usaha yag wajib membayar pajak kepada pemerintah. Pajak berperan sangat penting
karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang dapat menjamin
kelangsungan pembangunan sosial. Wajib pajak yang telah ikut serta dalam
membayar pajak berarti mereka telah membantu pemerintah dalam menyukseskan
pembangunan nasional.
Zakat dan pajak,
meski keduanya sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya
mempunyai falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan asasnya, berbeda
sumbernya, sasaran, bagian serta kadarnya, disamping berbeda pula mengenai
prinsip, tujuan dan jaminannya. Sesungguhnya ummat Islam dapat melihat bahwa
zakat tetap menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan hasil pemikiran
keuangan dan perpajakan zaman modern, baik dari segi prinsip maupun
hukum-hukumnya.
Pajak ialah kewajiban
yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara
sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan
hasilnya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umumdi satu pihak dan untuk
merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang
ingin dicapai negara.
Zakat ialah hak
tertentu yang diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap kaum Muslimin yang
diperuntukkan bagi mereka, yang dalam Quran disebut kalangan fakir miskin dan
mustahik lainnya, sebagai tanda syukur atas nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, serta untuk membersihkan diri dan
hartanya.
Dapat dipetik
beberapa titik persamaan antara zakat dan pajak:
1. Adanya
unsur paksaan untuk mengeluarkan
2. Keduanya
disetorkan kepada lembaga pemerintah (dalam zakat dikenal amil zakat)
3. Pemerintah
tidak memberikan imbalan tertentu kepada si pemberi.
4. Mempunyai
tujuan kemasyarakatan, ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan.
Adapun segi perbedaannya:
1. Dari
segi nama dan etiketnya yang memberikan motivasi yang berbeda. Zakat: suci,
tumbuh. Pajak (dharaba): upeti.
2. Mengenai
hakikat dan tujuannya Zakat juga dikaitkan dengan masalah ibadah dalam rangka
pendekatan diri kepada Allah.
3. Mengenai
batas nisab dan ketentuannya. Nisab zakat sudah ditentukan oleh sang Pembuat
Syariat, yang tidak bisa dikurangi atau ditambah-tambahi oleh siapapun juga.
Sedangkan pada pajak bisa hal ini bisa berubah-ubah sesuai dengan polcy
pemerintah.
4. Mengenai
kelestarian dan kelangsungannya, Zakat bersifat tetap dan terus menerus,
sedangkan pajak bisa berubah-ubah.
5. Mengenai
pengeluarannya, Sasaran zakat telah terang dan jelas. Pajak untuk pengeluaran
umum negara.
6. Hubungannya
dengan penguasa, hubungan wajib pajak sangat erat dan tergantung kepada
penguasa. Wajib zakat berhubungan dengan Tuhannya. Bila penguasa tidak
berperan, individu bisa mengeluarkannya sendiri-sendiri.
7. Maksud
dan tujuan, zakat memiliki tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari
pajak.
Berdasarkan
point-point di atas dapatlah dikatakan bahwa “zakat adalah ibadat dan pajak
sekaligus”. Karena sebagai pajak, zakat merupakan kewajiban berupa harta yang
pengurusannya dilakukan oleh negara. Negara memintanya secara paksa, bila
seseorang tidak mau membayarnya sukarela, kemudian hasilnya digunakan untuk
membiayai proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat.
Syarat-syarat
diperbolehkannya pajak di luar zakat:
Pajak
yang diakui dalam sejarah Islam dan dibenarkan sistemnya harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta
itu benar-benar dibutuhkan dan tak ada sumber lain. Tidak diperbolehkan
memungut sesuatu dari rakyat selagi dalam baitul-mal masih terdapat kekayaan.
b. Adanya
pembagian pajak yang adil. Pengertian adil tidak harus sama rata bebannya.
c. Pajak
hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan ummat bukan untuk maksiat
dan hawa nafsu. Pajak bukan upeti untuk para raja dalam rangka memuaskan hawa
nafsu, kepentingan pribadi dan keluarga mereka, atau kesenangan para pengikut
mereka, tetapi harus dikembalikan untuk kepentingan masyarakat luas.
d. Adanya
persetujuan para ahli dan cendikia. Pemerintah tidak bertindak sendirian dalam
hal mewajibkan pajak, menentukan besarnya serta memungutnya tanpa adanya
persetujuan dari hasil musyawarah para ahli atau cendikia dari kalangan
masyarakat (dewan perwakilan rakyat).
Zakat
tidak dapat digantikan oleh pajak, walaupun sasaran zakat dapat dipenuhi sepenuhnya
oleh pengeluaran dari pajak. Zakat berkaitan dengan ibadah yang diwarnai dengan
kemurnian niat karena Allah. Ini adalah tali penghubung seorang hamba dengan
khaliqnya yang tidak bisa digantikan dengan mekanisme lain apapun. Zakat adalah
mekanisme yang unik Islami, sejak dari niat menyerahkan, mengumpulkan dan
mendistribusikannya. Maka apapun yang diambil negara dalam konteks bukan zakat
tidak bisa diniatkan oleh seorang Muslim sebagai zakat hartanya.
Demikian
pula setiap pribadi Muslim wajib melaksanakannya walaupun dalam kondisi
pemerintah tidak memerlukannya atau tidak mewajibkannya lagi. Adalah suatu hal
yang sangat berbahaya, bila kita diperbolehkan untuk mengganti zakat dengan
pungutan-pungutan lainnya, niscaya hukum wajib zakat akan hilang dan sedikit
demi sedikit akan sirna dari kehidupan setiap orang, seperti hal telah
lenyapnya zakat dari undang-undang pemerintahan saat ini.
Sesungguhnya
zakat tidak dapat dicukupi oleh pajak. Inilah pendapat yang akan menyelamatkan
agama seorang Muslim, yang akan melestarikan kewajiban tersebut dan mengekalkan
hubungan antara kaum Muslimin melalui zakat, sehingga zakat tidak dapt diganti
dengan nama pajak dan tak dapat dihilangkan begitu saja.
Benar
orang Islam itu dibebani kesulitan dalam menanggung beban harta yang sebagian
ini tidak dapat dipikulnya. Akan tetapi ini adalah kewajiban iman dan tuntutan
Islam, khususnya dalam masa-masa cobaan (fitnah) yang membuat bimbang
orang-orang penyantun dan orang yang memegang agama seperti orang yang
menggenggam bara api.
Zakat
adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang
ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari
berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang
mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan
membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki
orang yang tidak punya. Akhirnya sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya
adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri
kepada Allah.
Zakat
itu sendiri menjadi bukti bahwa ajaran Islam itu dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Suatu sistem yang adil, yang tidak mungkin dihasilkan oleh Rasulullah
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang ummi.
Inilah zakat yang disyariatkan Islam
meskipun banyak kaum Muslimin pada masa akhir-akhir ini tidak mengetahui
hakikatnya dan mereka melalaikan membayarnya, kecuali mereka yang disayangi
Tuhannya dan jumlahnya sedikit.
2. Retribusi
Retribusi adalah
pungutan yang dilakukan pemerintah berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pembayar retribusi ini merupakan pihak yang telah menerima manfaat atas
fasilitas pemerintah, seperti retribusi pasar, retribusi parkir, dan jenis
retribusi lainnya. Pajak dan retribusi berbeda dalam hal penerimaan manfaat.
Jika dalam retribusi, pembayar retribusi dapat merasakan manfaat secara
langsung, namun pembayar pajak tidak dapat merasakan manfaatnya secara langsung
dan tidak semua orang dapat menikmati hasil pemanfaatan pajak secara merata.
3. Keuntungan
BUMN
BUMN adalah perusahaan negara yang mengelola sumber daya
yang strategis dan menguasai hajat hidup banyak orang. Sebagai perusahaan
negara, BUMN memiliki kewajiban utama dalam melayani kepentingan umum dan
kadangkala BUMN pun dapat memperoleh laba dari hasil kegiatannya. Laba tersebut
merupakan salah satu penerimaan negara karena BUMN adalah milik negara. Apabila
suatu BUMN mampu bekerja secara efektif dan efisien, maka BUMN dapat memperoleh
laba yang besar sehingga secara otomatis meningkatkan penerimaan negara pula.
Kepemilikan negara Adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum
muslimin/rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang khalifah/negara, dimana
khalifah/negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian kaum
muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini
adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya. Kepemilikan
negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke
dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property) namun
terkadang bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat
al-fardiyyah). Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis
kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya
dengan pandangan ijtihadnya adalah:
a. Harta ghanimah, fay (harta yang
diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh
dari musuh tanpa peperangan) dan khumus.
b. Harta yang berasal dari kharaj (hak
kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan
atau tidak)
c. Harta yang berasal dari jizyah (hak
yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya
mereka kepada Islam)
d. Harta yang berasal dari daribah (pajak)
e. Harta yang berasal dari ushur (pajak
penjualan yang diambil pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya
dengan pungutan yang diklasifikasikanberdasarkan agamanya.
f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau
kelebihan harta dari sisa waris (amwal al-fadla)
g. Harta yang ditinggalkan oleh
orang-orang murtad
h. Harta yang diperoleh secara tidak sah
para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'
i.
Harta lain
milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang
tidak ada pemiliknya.
Dengan
menggunakan kaidah "status hukum industri mengikuti apa yang
diproduksinya", maka jenis kepemilikan BUMN yang
bergerak di bidang industri (PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah, PT Tambang
Batu Bara Bukit Asam, PT Semen Gresik dan PT Krakatau Steel) dapat ditentukan.
Apabila barang barang yang diproduksi industri (pekerjaan mengubah bahan baku
menjadi bahan jadi) tersebut adalah termasuk dalam kategori kepemilikan
individu, maka industri tersebut bisa digolongkan
ke dalam jenis kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah/private
property). Apabila industri tersebut memproduksi barang-barang yang termasuk dalam kepemilikan umum, maka berdasar kaidah di
atas, industri itu tergolong dalam jenis kepemilikan umum (al-milkiyyah al-'ammah/
public property) meskipun industri ini
adalah milik negara (al-milkiyyat al-dawlah/state property).
Sebagai
din kamil shamil, Islam menghadirkan sebuah sistem ekonomi yang berbeda dengan
sistem ekonomi lainnya termasuk sistem kapitalis dan sosialis beserta
bagian-bagiannya. Dalam sistem ini, ekonomi Islam
menyelaraskan dan melindungi dua kepentingan yang berbeda, kepentingan dunia
dan kepentingan akhirat dengan melibatkan
negara (khalifah) sebagai wakil Allah di bumi (khalifat al-Allah) dan sekaligus
sebagai pemegang amanat dari seluruh rakyanya (khalifah khalaifillah) dengan memegangi ketentuan shara' yang
tercantum dalam al-Qur'an, al-hadith, ijma sahabah dan al-qiyas.
Privatisasi
dalam sistem ekonomi Islam telah lama dikenal dan ini memang diperbolehkan
sejauh pada jenis kepemilikan harta individual (al-milkiyyat al-
fardiyyah/private property) dan sebagian jenis harta kepemilikan negara
(al-milkiyyat al-dawlah/state property) dengan adanya jaminan kestabilan harga
oleh negara, dan bukan jenis harta
kepemilikan yang tergolong kepemilikan umum (al-milkiyyat al-'ammah/public
property). Bukankan Allah telah menyediakan alam beserta isinya untuk kesejahteraan seluruh manusia dan bukan hanya
dikhususkan untuk segelintir manusia saja?
Diperlukan
rasa tanggung jawab bagi para pengelolanya dan ditopang penuh oleh integritas
moral dan personal dari sang pemimpin dan para ekonomnya, guna
menjamin pelaksanaan program privatasasi ini agar
program ini benar-benar mampu sebagai solusi untuk mengantarkan tujuan ekonomi
shari'ah itu sendiri sehingga rasa
kekhawatiran akan dampak yang dibawanya tidak akan terwujud.
4. Pinjaman
dan Hibah (Bantuan)
Setiap negara memiliki sumber penerimaan, akan tetapi
apabila dari penerimaan tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsi
negara, maka dapat mengajukan pinjaman berupa investasi maupun pinjaman dari
dalam atau luar negeri. Pinjaman yang diperoleh pemerintah merupakan utang yang
nantinya harus dibayar kembali beserta bunganya sedangkan hibah atau bantuan
biasanya didapat dari negara lain dan tidak perlu dikembalikan.
Hutang
merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi.
Karena penerimaan dalam negeri yang berupa
pajak, non-pajak dan bea cukai dianggap belum cukup untuk menutupi biaya
pembangunan di semua sektor. Jika hutang luar negeri dianggap penting, namun
hasilnya justru malah memberikan mudharat yang lebih besar,
maka hal ini tentunya harus dihindari. Tentunya tidak ada negara di dunia yang
terbebas dari hutang. Namun, diperlukan adanya kriteria tertentu terhadap
hutang luar negeri agar tidak memberikan dampak yang buruk terhadap
perekonomian. Menanggapi hal tersebut di atas, Islam sudah dari awal
memberikan solusinya. Pandangan Islam mengenai hutang sudah jelas dan
ditentukan dengan syarat-syarat tertentu. Tujuannya adalah agar
umat manusia mendapat keuntungan dan kemashlahatan dari setiap transaksi
ekonomi yang dilakukannya. Karena dalam Islam, hutang diapandang sebagai
suatu sarana untuk tolong menolong antara orang yang membutuhkan dana dan orang
memiliki kelebihan dana.
5. Penjualan
Kekayaan Negara
Suatu negara memiliki sumber daya yang menjadi kekayaan
negara. Kekayaan tiap negara tidaklah sama, sehingga Anda pernha mendengar
bahwa adanya negara yang kelebihan atau kekurangan sumber daya. Oleh karena
itu, kekayaan negara berupa barang tambang, hasil hutan, hasil pertanian, dsb.
dapat dijual ke negara lain untuk memperoleh tambahan penerimaan negara. BUMN
umumnya adalah pihak yang melakukan penjualan kekayaan negara.
6. Penerimaan
Bea dan Cukai
Bea dan cukai adalah pungutan resmi yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap barang-barang tertentu yang masuk atau yang keluar dari
suatu negara. Dengan demikian, bea dan cukai terkait dengan kegiatan ekspor dan
impor. Oleh karena itu, barang-barang tertentu yang masuk atau keluar suatu
wilayah negara diharuskan membayar sejumlah biaya yang dapat disetarakan
sebagai pajak tidak langsung.
Hukum menarik bea cukai dalam Islam itu
diperbolehkan selama bea cukai yang ditarik dan dikumpulkan oleh negara itu
dipergunakan untuk biaya penyelenggaraan negara
seperti yang dilakukan di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment