Wednesday, March 23, 2011

Dasar Hukum Dalam Alqur'an

Pengertian Al-Qur’an

Kata Al-Qur’an menurut segi bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu’lan,yang berarti baca’an atau apa yang tertulis padanya.
Definisi Al-Qur’an secara terminologi, menurut sebagian besar ulama Ushul Fiqih adalah:

كَلاَمُ اللهِ تَعَالَي المُنزََّلُ عَلَي مُحَمَّدٍ صَلَّّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ بِا الّلَفْظِ الَعَرَبِيْ الْمَنْقُولُ إلَيْنَا بِا التَوَاتُرِ الْمَكْتُوْبُ بِا الْمَصَاحِفِ الْمُتَعَبَدُ بِتِلاَوَتِهِ المَبْدُوْءُ بِاالْفَاتِحَةِ وَالْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَاسِ
Artinya:
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawattir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf; dimulai dengan surat Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.”
Sikap Para Ulama Ketika Zahir Al-Qur’an Berhadapan Dengan Sunnah
Dalam hal ini para ulama berbeda pandangan. Imam As-Syafi’i, Ahmad Ibnu Hambal dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, karena Sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an dan juga sebagai takhsin terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum). Sehingga artinya menjadi jelas.
Adapun Abu HAnifah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafazh umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada sunnah yang mutawatir atau yang masyhur, sunnah tersebut yang bisa men-takhshih-nya. Namun jika sunahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya.\ krena Al-Qur’an itu qath’i ke-mutawatir-annya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshih sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:
A. As-Sunnah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunnah sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-Qur’an. As-Sunnah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an;
B. Al-Qur’an sebagai hakim dalam sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika bertentangan dengan Al-Qur’an. Termasuk didalamnya khabar ahad.
Pengertian Sunnah
Arti sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Secara terminology, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Ilmu Hadits, para ahli hadits mengidentikkan sunah dengan hadits, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw., baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
2. Ilmu Ushul Fiqh, menurut ulama ahli Ushul Fiqh, sunah adalah segala yang diriwayatkan dari Nabi Saw. berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3. Ilmu Fiqih, pengertian sunah ilmu Fiqih hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh. Akan tetapi, istilah sunah dalam Fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yan berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.

. ISTIHSAN
1. Pengertian dan Hakikat Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut:
1) Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I:137,“ Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2) Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali,” istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran dan As-Sunnah.”
3) Abu-Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki.” Istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.
4) Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi,” Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.”
5) Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi.”
6) Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil dalm hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia.
2. Kehujahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
• Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan.
• Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagaimana pendapat imam maliki dan imam Abu Hanifah.
• Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh imam Al-Amudi dan Ibnu Hazib.
• Ulama syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’I secara mashur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “barang siapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.”
3. Pengaruh Istihsan dalam Masalah Fiqih
Lelaki yang Menghadap Perempuan dalam Shalat
Berdasarkan sunah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan shalat berjama’ah, maka perempuan berada di barisan belakang laki-laki yang melaksanakan shalat berjama’ah tepat berada pada berisan perempuan.
4. Zakat seluruh harta tanpa niat
Para Ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa dibarengi oleh niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakati. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai niat.
AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
1. Pengertian Al-Maslahah Al-Mursalah
Menurut bahasa kata al-maslahah adalah seperti lafadz al-manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya(timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u.
Dengan demikian al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfa’at, maka kejadian tersebut dinamakan al-maslahah almursalah. Tujuan utama al-maslahah al-mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga kemanfa’atannya.
• Pengertian dan Peristilahan al-maslahah dan al-mursalah
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah itu dengan kata al-munasib al mursal.” Ada pula yang menggunakan al-istishlah dan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlal al-mursal. Setiap hukum yang didirikan atas dasar mashlahat dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
a) Melihat mashlahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di masa sekarang.
b) Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al-munasib) yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan.
c) Melihah proses penetapan hukum terdapat suatu masalah yang ditunjukan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bhwa hal itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’.
1.1. Pengertian Istihsab
Secara harfiyah istishab adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama Ushul adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.
1.2. Kehujjahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang menghadapinya
1.3. Pendapat Ulama Tentang Istishab
Ulama Hanafitah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Istishab bukanlah hujjah untuk meneapkan sesuatu yang tidak tetap.
‘URF
1. Pengertian ‘Urf
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut adat.
‘Urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka ‘urf berbeda dengan ‘ijma karena’ijma merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
2. Macam-macam ‘Urf
‘Urf terdiri dari 2 macam, yaitu ‘Urf shahih dan ‘urf fasid (rusak). ‘Urf shahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’. Tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.
‘Urf fasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.
3. Hukum ‘Urf
3.1 ‘Urf Shahih dan Pandangan Para Ulama
‘Urf shahih harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili.
syar’i pun telah menerima ‘urf bangsa arab yang sahih dalam membentuk hukum, Diantara para ulama ada yang berkata,”adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum” begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum.
Dalam fiqih Hanafiyah, banyak hukum yang berdasarkan atas ‘urf ,diantaranya apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang disaksikan ‘urf.
Pendapat yang dinukil adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi syarat sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’, atau apabila dituntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf.
3.2 Hukum ‘Urf Fasid
‘Urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang atau membatalkan dalil syara’.
‘Urf yang bertentangan dengan undang-undang hukum tidak diakui, tetapi bisa di tinjau dari segi lain.
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya . Karena itu , para fuqaha berkata ,”Perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman,bukan perselisihan hujjah dan bukti”.
4. Kehujjahan ‘Urf
Pada umumnya, ‘urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhusus lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.Karena itu,sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas,karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
DZARI’AH
1. Pengertian Dzari’ah
Dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “Jalan menuju sesuatu” Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan .Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua,yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang),dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
2. Sadd Adz-Dzari’ah
Menurut imam Asy-Syatibi adalah:
التَّوَصُّلُ بِماَ هُوَ مَصْلَحَةٌ اليَ مَفْسَدَةٍ
Artinya :
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada kerusakan (kemafsadatan).”

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan sesuatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
• Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan;
• Kemafsadatan lebih kuat dari kemaslahatan;
• Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya;

3. Macam-macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari’ah berdasarkan dua segi; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.

MADZHAB SHAHABY

1. Keadaan para sahabat setelah Rasulullah wafat
Setelah Rasulullah Saw. wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah Saw.dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenal peristiwa yang bermacam-macam. Diantara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan seorang mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat perseorang yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
2. Kehujjahan Madzhab Shahaby dan Pandangan Para Ulama
Tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rasulullah Saw.
Keterangan diatas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan latihan ijtihad dan pendapat,namun sumbernya benar-benar dari Rasulullah Saw.maka dianggap sebagai sunnah meskipun pada zahirnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah Saw. mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang berumber dari dalil-dalil yang qath’i.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain.
Para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya. Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka.

Syariat Sebelum Islam (SYAR’U MAN QABLANA)
Hukum Syariat Sebelum Kita
firman Allah SWT.dalam surat Al-Baqarah :183
يآَاَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَماَ كُتِبَ عَليَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ .
Artinya:
“hai orang-orang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.”
Jika Al-Qur’an atau sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum pada umat yang telah isyari’atkan pada umat terdahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib diikuti.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syari’at sebelum Kita
Yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita?
Jumhur ulama Hanifiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannnya, mereka menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah disyariatkan melalui para Rasulnya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang mukalaf wajib mengikutinya.
Sebagaimana ulama mengatakan bahwa syariat kita itu me-nasakh atau menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama karena syariat kita hanya me-naskh syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat kita saja.


BAB III

CURRICULLUM VITAE

Nama : Dewi St Rohmah
TTL : Tasikmalaya, 16 Juni 1991
Status : Mahasiswa
Alamat : Sukahurip, Madyasari, Cineam, Tasikmalaya
No Hp : 085222643877
Organisasi Sekarang : Koprasi Mahasiswa, KISI
Hobi : Travelling, kaligrafi
Pengalaman Organisasi: Pramuka, Sanggar Seni, DKM
Riwayat Pendidikan : TK. As-Salam, SDN Sukahurip, SMPI Cipasung, SMAN 1 Manonjaya


Nama : Miftahul rizky
TTL : Tasikmalaya, 5 Agustus 1991
Status : Mahasiswa
Alamat : Jl. Dadaha, Gg. H. Junaedi No. 110, Tawang
No Hp :085793308523
Organisasi Sekarang : BIMAPALA, Pers Mahasiswa
Hobi : Adventure
Pengalaman Organisasi: -
Riwayat Pendidikan : TK Aisyiah 1, SDN Dadaha 1 Tasikmalaya, SMP-SMU Plus PST Amanah Muhamadiyyah Tasikmalaya.


Nama : Eka Dini Handayani
TTL : Tasikmalaya, 1 Februari 1991
Status : Mahasiswa
Alamat : Leuwisari, Singaparna, tasikmalaya, 46464
No Hp : 085723401300
Organisasi Sekarang : Koprasi Mahasiswa, KISI
Hobi : Travelling, Gambar
Pengalaman Organisasi: Pramuka, Art Club, Hastakarya Club
Riwayat Pendidikan : TK Pertiwi Jayaraga, SDN Ceungceum Jaya, ITTC Gontor Putri 1

Nama : Fauzi Rahman Aminullah
TTL : Tasikmalaya, 6 Februari 1992
Status : Mahasiswa
Alamat : Jl. Paseh, Gunung Ceuri, 04/14, Cihideung, Tasikmalaya
No Hp : 085223996212
Organisasi Sekarang : -
Hobi : Futsal, Main Gitar, Adventure
Pengalaman Organisasi: PBBAB
Riwayat Pendidikan : TK Ra- Raihan, SDN Gunung Pereng, MTS-MA Persis Cempaka Warna


Nama : Rika Sari Dewi
TTL : Tasikmalaya, 2 Desember 1991
Status : Mahasiswa
Alamat : Citeureup, Singaparna, Tasikmalaya
No Hp : 082118534643
Organisasi Sekarang : Seni Musik
Hobi : Nonton, Menyanyi
Pengalaman Organisasi: -
Riwayat Pendidikan : TK Nurul Islam, SDN 5 Bandung, SLTPN 1 Singaparna, MA Muhamadiyyah Singaparna


Daftar Pustaka

• Al-Qur’anul Karim
• Ilmu Ushul Fiqh, Prof. DR. Juhaya S. Praja, Pustaka Setia, Bandung-2007

0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Post a Comment