Saturday, March 26, 2011

KHAFIYUD DALALAH

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Khafiyud Dalalah
Yang dimaksud dengan khafiyud dalalah adalah lafazh yang penunjukkannya kepada makna yang dikehendaki bukan oleh shigat itu sendiri, akan tetapi karena tergantung kepada sesuatu dari luar. Ketergantungannya kepada sesuatu dari luar lantaran adanya kekaburan pengertian pada lafazhnya.
Kekaburan pengertian itu dapat dihilangkan dengan jalan mengadakan penelitian dan ijtihad. Lafazh yang dapat dihilangkan kekaburannya dengan jalan ini disebut lafazh khafy dan musykil. Sedang lafazh yang tidak dapat dihilangkan kekaburannya melainkan dengan jalan mencari penafsirannya dari Syar’i sendiri disebut lafazh mujmal. Dan apabila tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kekaburannya disebut lafazh mutasyabih.
a. Khafy
Lafazh khafy ialah lafazh yang penunjukkannya kepada maknanya jelas,akan tetapi penerapan maknanya sebagai satuannya terdapat kekaburan yang bukan disebabkan oleh lafazh itu sendiri. Misalnya keadaan sebagian satuannya mempunyai nama yang khas atau mempunyai sifat yang berbeda dengan satuan yang lain sehingga menimbulkan keraguan untuk dimasukkan kepada makna yang umum dari lafazh tsb.
Sebagai contoh dalam firman Allah (Al-Maidah: 38)
وَ السَّا رِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْآ أَيْدِيَهُماَ
pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya…

b. Musykil
Musykil ialah lafazh yang shigatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendakinya, akan tetapi harus ada qarinah dari luar agar menjadi jelas apa yang dikehendakinya.
Perbedaan antara khafy dan musykil ialah bahwa pada lafazh khafy kekaburan maknanya bukan disebabkan dari lafazh itu sendiri, akan tetapi disebabkan adanya keraguan makna atas sebagian satuannya karena sesuatu dari luar. Adapun kekaburan makna pada lafazh musykil berasal dari lafazh itu sendiri, karena lafazh itu diciptakan untuk beberapa makna.
Kemusykilan lafazh itu disebabkan:
1) Karena lafazh itu musytarak.
Yaitu lafazh yang diciptakan untuk beberapa arti sedang shigatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu. Oleh karena itu, haruslah dicari qarinahnya untuk menentukan makna manakah yang dimaksud. Misalnya lafazh quru’ dalam firman Allah (Al-Baqarah: 228)
وَالمُطَلِّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) tiga kali suci…
Menurut bahasa, lafazh quru’ diciptakan untuk dua arti, yaitu suci dan haid. Dengan demikian timbullah kemusykilan untuk menetapkan apakah ‘iddah wanita yang ditalak itu 3 kali suci atau 3 kali haid.
Ulama madzhab Hanafiyah menetapkan arti quru’ itu ialah haid. Demikian juga Imam Ahmad. Karena sebagaimana diketahui bahwa syara’ mengadakan syariat ‘iddah itu gunanya adalah untuk mengetahui kesucian rahim isteri. Haidlah alat yang dapat menetapkan apakah ia mengandung atau tidak.
Ulama Syafi’iyah dan sebagian mujtahid mengartikan lafazh quru’ itu dengan suci.
2) Adanya dua lafazh yang saling berlawanan.
Artinya kedua nash itu jelas dalalahnya, tidak ada kesukaran sedikit pun. Akan tetapi kemusykilannya terletak pada mentaufiqkan antara kedua nash yang saling berlawanan itu. Misalnya dalam firman Allah (An-Nisa: 79)
مَآ أَصاَبَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَآأَصاَبَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنَ نَفْسِكَ
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah dan apa saja bencana yang menimpamu adalah akibat dari kesalahanmu sendiri...
Dengan firman Allah (An-Nisa: 78)
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ
.... Katakanlah, bahwa semuanya itu dari sisi Allah ....
Cara-cara untuk Menghilangkan Kemusykilan
Cara-cara untuk menghilangkan kemusykilan suatu lafazh ialah dengan jalan berijtihad. Oleh karena itu, bila seorang mujtahid menemukan suatu lafazh nash yang musytarak, hendaklah mencari qarinahnya untuk menghilangkan kemusykilannya, dalam hal ini menegaskan mana diantara makna-makna itu yang dimaksud. Dan apabila ia menemukan dua buah nash yang menurut lahirnya berlawanan, hendaklah mencari ta’wilnya, baik dari nash-nash yang lain, qaidah-qaidah syariat maupun dari hikmah tasyri’.
c. Mujmal
Mujmal ialah lafazh yang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna yang dikehendaki dan tidak pula didapati qarinah lafzhiyah (tulisan) atau haliyah (keadaan) yang menjelaskannya. Jadi, setiap lafazh yang tidak dapat dipahamkan maksudnya dengan sendirinya, bila tidak disertai qarinah yang dapat menyampaikan maksud tersebut dinamai mujmal.
Kekaburan makna lafazh mujmal lantaran lafazh sendiri, bukan dari luar, disebabkan adakalanya karena:
1). Lafazh itu musytarak yang sulit ditentukan artinya.
2). Makna lafazh-lafazh yang menurut makna lughawi itu dipindah oleh Syari’ kepada makna yang pantas untuk istilah syari’at. Misalnya lafazh shalat, zakat, shiyam, dsb adalah lafazh yang dipindahkan oleh Syari’ dari makna menurut bahasa kepada makna yang khas dalam istilah syari’at.
3). Makna lafazh-lafazh yang menurut makna yang umum itu dipergunakan oleh Syari’ sendiri untuk suatu makna yang khusus. Misalnya lafazh Al-Qariah dalam firman Allah (Al-Qariah: 1-4)
القاَرِعَةُ () ماَالقاَرِعَةُ () وَمآَأَدْرَايكَ ماَالقاَرِعَةُ () يَوْمَ يَكُوْنُ النَّاسُ كاَلفَرَاشِ المَبْثُوْث ()
Hari Qiyamat. Apakah hari qiyamat itu? Tahukah kamu apakah hari qiyamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran.
Kemujmalan suatu lafazh dengan sebab yang mana pun juga dari 3 macam sebab tsb di atas tidak ada jalan lain untuk memberikan penjelasan atau menghilangkan kemujmalannya ataupun mentafsirkan apa yang dikehendakinya, selain kembali kepada Syari’ yang memujmalkannya sendiri.
Apabila Syari’ mendatangkan penjelasan (bayan) untuk lafazh mujmal dengan bayan yang sempurna lagi qath’i, maka lafazh mujmal tsb tergolong lafazh mufassar, seperti bayan yang datang secara terperinci terhadap perintah shalat, zakat, haji dan lain sebagainya.
Apabila Syari’ mendatangkan suatu bayan untuk lafazh mujmal, sedang bayan itu tidak cukup untuk menghilangkan kemujmalannya, maka lafazh mujmal tsb tergolong lafazh musykil dan terbukalah jalan untuk membahas dan berijtihad guna menghilangkan kemusykilannya. Oleh karena itu, bayannya tidak tergantung kepada Syari’, melainkan sudah memadailah suatu ijtihad dari seorang mujtahid. Misalnya soal riba yang di dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 276 disebut secara mujmal. Kemudian Rasulullah Saw. memberikan bayan dalam sabdanya:
الذَّهَبُ باِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ باِ الفِضَّةِ وَالبُرُّ باِالبُرِّ وَالشَّعِيْرُ باِالشَّعِيْرِ وَالمِلْحُ باِالمِلْحِ وَالتّضمْرُ باِالتَمْرِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَآءً بِسَوَآءٍ يَدً بِيَدِ, فَاءِذَااخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْناَفُ فَبِيْعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ, اِذَا كاَنَ يَدًا بِيَدٍ (روه مسلم و احمد).
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir (sejenis gandum), garam dengan garam, kurma dengan kurma dalam keadaan semisal sama banyak lagi kontan. Oleh karena itu berbeda jenis-jenis ini, juallah sekehendakmu, bila dengan kontan. (Rw. Muslim dan Abu Dawud)
Akan tetapi, penjelasan Rasulullah Saw. ini belum sempurna, karena belum mencakup seluruh barang yang termasuk riba. Dengan demikian terbukalah pintu berijtihad untuk memberikan bayan (penjelasan) apa-apa yang dapat dimasukkan riba dengan mengqiyaskannya kepada hadits tsb.
Adapun macam-macam bayan ada 7, yaitu:
a. Dengan perkataan
b. Dengan perbuatan
c. Dengan tulisan
d. Dengan isyarat
e. Dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali dikerjakan
f. Dengan diam sesudah ada pertanyaan
g. Dengan macam-macam takhshish

d. Mutasyabih
Mutasyabih ialah lafazh yang shighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak didapati pula qarinah-qarinah dari luar yang menjelaskannya. Oleh karena Syari’ sendiri memandang tidak perlu diketahui orang, maka tidak dijelaskannya.
Mutasyabih dengan arti yang demikian ini tidak didapati sedikit pun dalam nash-nash yang berisikan hukum-hukum. Oleh karena itu di dalam ayat-ayat atau hadits-hadits yang berisikan hukum-hukum tidak terdapat lafazh mutasyabih yang tiada jalan lain untuk mengetahui maksudnya. Akan tetapi, dalam nash-nash yang berisikan selain hukum di dapati nash-nash mutasyabih . misalnya huruf-huruf hijaiyah yang dipergunakan sebagai pembukaan dalam beberapa surat Al-Qur’an . seperti Alif Lam Mim, Ya Sin, dsb. Dan ayat-ayat yang menurut lahirnya menetapkan bahwa Allah itu serupa dengan makhluk, misalnya ‘mempunyai tangan’, seperti firman Allah (Al-Fath: 10)
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
..... Tangan Allah di atas tangan mereka.
‘Mempunyai mata’, seperti termuat dalam surat Hud: 37.
وَاصْنَعِ الفُلْكَ بِأَعْيُنِناَ وَوَحْيِنَا
Buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami....
Menanggapi ayat mutasyabihat semacam itu para ulama ahli kalam terbagi kepada dua golongan.
1). Golongan salaf (terdahulu) mengi’tiqadkan bahwa Allah adalah suci dari sifat-sifat yang tidak patut bagi-Nya. Oleh karena itu mereka menyerahkan bulat-bulat pena’wilan ayat mutasyabihat kepada Allah.
2). Golongan khalaf (terkemudian) mena’wilkan ayat-ayat tersebut sesuai dengan pemakaian bahasa. Setiap lafazh yang mustahil dapat dipergunakan mensifati Allah harus dita’wilkan dan diahlikan dari makna lahirnya kepada makna yang lain, sekalipun dengan menggunakan arti majaznya.
Secara ringkas dapat kita fahami dari uraian diatas bahwa apabila suatu dalil mempunyai kesamaran maksud yang disebabkan oleh faktor ekstern maka bisa disebut sebagai khofi, apabila disebabkan oleh faktor intern dan dapat dipahami melalui akal maka disebut musykil,jika tidak bisa menggunakan akal melainkan dalil naqli maka disebut dengan mujmal, dan jika tidak bisa difahami baik mulalui akal maupun dalil naqli maka disebut dengan mutasyabih. Pembagian dan pembahasan diatas adalah menurut pendapat ulama Hanafiyah .

0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Post a Comment