Monday, May 12, 2014

PEMBIAYAAN NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Politik Ekonomi Islam seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Dr. Abdurahman al-Maliki  dalam bukunya, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla  (Politik Ekonomi Ideal) adalah jaminan pemenuhan atas pemuasan semua kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan) setiap orang serta pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakt tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. Oleh karena itu, politik ekonomi Islam dalam masalah anggaran negara sebenarnya merupakan kebijakan negara, baik menyangkut sumber-sumber pendapatan negara maupun alokasi penggunaan dana dalam rangka mewujudkan terpenuhinya kebutuhan pokok individu orang-perorang dan kepentingan individu yang bersifat sekunder maupun tersiernya.
Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya, Al-Amwal fa Dawlah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara. Adapun politik pembiayaan negara telah dibahas secara detail oleh Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya tersebut di atas.
Dalam buku tersebut dijelaskan sumber-sumber pemasukan Negara Khilafah yang dikumpulkan oleh lembaga yang disebut Baitul Mal, yaitu lembaga keuangan Negara Islam, yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.

B.     Rumusan Masalah

  1. Bagaimana definisi pembiayaan dalam negeri?
  2. Bagaimana sistem Islam dalam mengatur pengelolaan pendapatan dan belanja negara?
  3. Darimana sumber harta Baitul Mal?
  4. Bagaimana pembiayaan Baitul Mal?

C.    Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
  1. Definisi pembiayaan dalam negeri.
  2. Memahami sistem Islam dalam mengatur pengelolaan pendapatan dan belanja negara.
  3. Mengetahui sumber harta Baitul Mal.
  4. Mengetahui pembiayaan baitul Mal.




BAB II

PEMBAHASAN


A.    Definisi Pembiayaan Dalam Negeri
Pembiayaan dalam negeri, adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri yang meliputi hasil privatisasi, penjualan aset perbankan dalam rangka program restrukturisasi, surat utang negara, dan dukungan infrastruktur. Semua pembiayaan dalam negeri ini di atur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Semua pengaturan kehidupan yang dibuat oleh manusia sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Sementara mereka yang tidak bisa ambil bagian dalam membuatnya juga berupaya mencari celah agar kepentingannya bisa terakomodasi dengan peraturan yang ada. Terjadilah tarik menarik kepentingan dan rakyat hanya menjadi obyek pelengkap penderita yang tak berdaya menghadapi berbagai beban yang ditimpakan kepada mereka.

B.     Sistem Islam Dalam Mengatur Pengelolaan Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN)
Kalau kita menilik ke dalam catatan sejarah Islam, tidak dikenal istilah kata APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dalam Islam, akan tetapi dalam Islam terdapat suatu konsep yang mewujud dalam bentuk lembaga yang tak terpisahkan dalam Struktur Khilafah untuk mengatur penerimaan dan pegeluaran negara yang dikenal dengan Baitul mal.
Gagasan konsep Baitul Mal yang ideal perlu disusun dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan syariah, baik dalam hal sumber-sumber pendapatan maupun dalam hal pengelolaannya. Berbeda dengan APBN dalam sistem sekuler, Baitul Mal di dalam sistem Khilafah justru lebih dahulu mengandalkan pengelolaan sumber daya alam yang tidak membebani masyarakat yang ternyata menghasilkan potensi pendapatan negara yang sangat besar dan mencukupi pembiayaan negara, sehingga menghutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan oleh Khilafah karena banyaknya bahaya yang akan didapat dari hutang luar negeri.

C.     Sumber harta Baitul Mal
Islam tidak hanya mengatur sebab-sebab perolehan harta bagi individu, akan tetapi Islam juga mengatur sumber pemasukan dana/harta bagi Baitul Mal. Dalam hal sumber dana Baitul Mal ada dua hal yang harus dibedakan yaitu antara sumber-sumber pendapatan negara dengan sumber-sumber keuangan negara.
Secara garis besar, pendapatan negara yang masuk ke dalam Baitul Mal di kelompokkan menjadi 5 sumber:
1.      Dari Pengelolaan Negara atas Kepemilikan Umum.
Benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok:
a)      Fasilitas umum. Fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum; jika tidak ada dalam suatu negeri atau suatu komunitas akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketa-an. Contoh: air, padang rumput, api (energi), dll.
b)       Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Barang tambang dalam jumlah sangat besar termasuk milik umum dan haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll.
c)      Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya.
2.      Dari Harta Milik Negara dan BUMN.
Jenis pendapatan kedua adalah pemanfaatan harta milik negara dan BUMN. Harta milik negara adalah harta yang bukan milik individu tetapi juga bukan milik umum. Contoh: gedung-gedung pemerintah, kendaraan-kendaraan pemerintah, serta aktiva tetap lainnya. Adapun BUMN bisa merupakan harta milik umum kalau produk/bahan bakunya merupakan milik umum seperti hasil tambang, hasil hutan, emas, dan lain-lain; bisa juga badan usaha yang produknya bukan merupakan milik umum seperti Telkom dan Indosat.
3.      Dari Ghanamah, Kharaj, Fai, Jizyah, dan Tebusan Tawanan Perang.
Kelima jenis pendapatan ini muncul dalam konteks Daulah Khilafah Islamiyah sebagai dampak dari politik luar negeri (jihad) yang dilakukan oleh kaum Muslim. Ketika Daulah Khilafah Islamiyah tegak, tidak sedikit jumlah pemasukan negara yang berasal dari pos ini.
4.      Pendapatan dari Zakat, Infak, Wakaf, Sedekah, dan Hadiah.
Kelompok yang keempat ini adalah mekanisme distribusi harta atau kekayaan yang sifatnya non-ekonomi. Potensi zakat di Indonesia saat ini dengan asumsi yang minimalis diperkirakan sekitar Rp 103.5 triliun.
Dalam pos fa’i & kharaj memang meliputi juga pajak. Namun pajak dalam sistem Islam berbeda dengan sistem sekuler. Pajak (dharibah) dalam Islam adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka pada kondisi Baitul Mal tidak ada uang. Pada dasarnya terdapat pemasukan rutin bagi Baitul Mal. Namun dalam kondisi dimana harta di Baitul Mal tidak mencukupi berbagai pembiayaan yang harus ditanggung oleh negara dan bila tidak dibiayai dapat menimbulkan kemudharatan seperti pembiayaan jihad, pembiayaan industri militer, pembiayaan para fuqara, orang - orang miskin dan ibnu sabil, pembiayaan gaji, para pegawai yang bekerja untuk kemaslahatan kaum Muslim, pembiayaan untuk kemashlahatan umat, serta untuk keadaan darurat seperti bencana, maka kewajiban pembiayaan itu akan beralih kepada kaum Muslim. Karena Allah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim. Rasulullah bersabda ” Tidak boleh ada bahaya (dharar) dan (saling membahayakan).”
Pajak hanya diwajibkan berdasarkan pada besarnya kebutuhan dan kemampuan memenuhi pembelanjaan negara. Dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya atau berusaha menambah pemasukan Baitul Mal.
Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Demikian pula negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya di muka (dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah, pengurusan surat – suratnya, gedung – gedung, atau timbangan atas barang dagangan. Dengan mewajibkan berarti telah berlaku zhalim dan ini dilarang. Bahkan termasuk dalam tindakan memungut cukai (al-Maksu), seperti sabda Rasulullah saw:

لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسِ
Tidak akan masuk surga orang – orang yang memungut cukai.(HR. Hakim)
5.      Dari Pendapatan Insidentil (Temporal)
Yang masuk dalam kelompok ini adalah pajak, harta ilegal para penguasa dan pejabat, serta harta denda atas pelanggaran yang dilakukan oleh warga negara terhadap aturan negara.

D.    Pembiayaan Baitul Mal

APBN dalam sistem sekular, pemasukan dari berbagai sumber dilebur menjadi satu tanpa melihat dari mana asalnya apakah dari kepemilikan umum atau negara, dan memang demikian adanya aturannya setelah semua pemasukan dilebur menjadi satu, baru digunakan untuk berbagai pembiayaan negara.
Sedangkan dalam konsep Baitul Mal, pendapatan Baitul Mal diperoleh sesuai dengan hukum-hukum syara’, maka peruntukkan/pengeluarannya pun harus sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh hukum syara’ yang bersifat qathi’/pasti :
1.      Bagian fa’i dan kharaj untuk membiayai : seksi dar al-khilafah, seksi mashalih daulah, seksi santunan, seksi jihad, seksi urusan darurat, dan seksi anggaran belanja negara-pengendalian umum-badan pengawas keuangan (BPK).
2.      Bagian pemilikan umum untuk membiayai : seksi jihad, Biro mashalih daulah/pelayanan publik, seksi penyimpanan harta milik umum dan untuk seksi urusan darurat/bencana alam.
3.      Bagian shodaqoh/zakat untuk : seksi jihad fi sabilillahi, seksi penyimpanan harta zakat, 8 golongan ashnaf (Q.S. At-Taubah: 60).


BAB III
KESIMPULAN

Negara Islam memiliki mekanisme tersendiri dalam membiayai kegiatannya, termasuk kegiatan pembangunan. Cara-cara tersebut sangat berbeda dengan cara-cara negara kapitalis. Dalam negara kapitalis, sumber utama pemasukan negara dibebankan kepada rakyat dengan jalan menarik pajak. Jika ini tidak memadai, negara dapat mencari dana dari luar melalui utang luar negeri. Sebaliknya, Negara Islam justru terlebih dulu mengandalkan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak membebani masyarakat.
Pajak ditarik bersifat temporer dan semata-mata untuk menutupi kekurangan saja dan dibebankan atas kaum Muslim saja. Mengutang ke luar negeri tampaknya tidak akan dilakukan oleh Negara Islam karena banyaknya bahaya yang akan didapat dari utang luar negeri.
Disamping dengan pengaturan sumber pemasukan dana/harta dan pembelanjaan harta bagi Baitul Mal dimana pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara, Islam juga telah memiliki aturan yang bisa mencegah terjadinya korupsi seperti dengan sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah, teladan dari pemimpin, dan pengawasan masyarakat.
Apa yang terjadi di dunia perpajakan negeri ini seharusnya membuka mata kita bahwa sistem sekuler yang bobrok ini harus segera ditinggalkan dan menggantinya dengan sistem Islam melalui tegaknya institusi Khilafah yang telah terbukti selama berabad – abad berhasil memelihara kehidupan manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya.” (TQS. Al-Anfal : 24-25)
Allahu a’lam bishshawab.





0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Post a Comment